Kita tentu mengetahui, bahwa sesungguhnya akhlaq rosululloh ﷺ adalah puncak segala akhlaq manusia. Bahkan Alloh SWT pun menyatakan pujian-Nya dalam al-Quran, QS al-Qolam 4,
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”
Kehebatan akhlaq rosululloh ﷺ ini tercermin dari sikap, pergaulan, dan perangainya. Jika kita membuka kitab-kitab hadits, maka akhlaq rosululloh ﷺ akan menjadi bidang ilmu tersendiri yang perlu ditelaah dengan seksama dan dalam waktu yang cukup lama. Namun, meskipun begitu tidak salahnya jika kita mengambil secuil ilmunya, untuk dipelajari dan diamalkan dalam hidup keseharian.
Dalam salah satu haditsnya, rosul ﷺ bersabda,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاق
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlaq” (HR al-Baihaqi)
Berdasarkan hadits ini, kita bisa menyatakan bahwa akhlaq yang mulia terdapat pada diri rosululloh ﷺ. Contoh keluhuran akhlaqnya tercermin dari sikap amanahnya. Kaum kafir quraisy yang notabene musuh secara aqidah, mempercayai rosul untuk dititipkan barang-barang berharga. Saat rosululloh harus hijrah, dan yang menggantikan tempat tidurnya adalah Ali bin Abi Thalib, rosul berpesan, “Wahai Ali, di bawah tempat tidur ada barang-barang titipan kaum quraisy, engkau harus jaga dan kembalikan”.
Saat mengaku umat nabi Muhamad ﷺ , harusnya sangat peduli terhadap akhlaq. Dalam kenyataanya, kadang terpisah antara kecintaan kepada nabi ﷺ dan keteladaan terhadap sikap dan akhlaqnya. Akhlaq dan ibadah kadang tidak selamanya selaras. Ada kalanya seseorang bagus dalam ibadahnya, namun kurang bagus dalam akhlaqnya.
Sebaliknya, ada orang yang bagus dalam akhlaqnya, namun kurang bagus dalam ibadahnya. Yang kita harapkan, adalah seimbang antara ibadah dan akhlaq. Bagusnya ibadah diwujudkan dalam akhlaq yang baik.
Dalam hadits lainnya, nabi ﷺ bersabda,
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya” (HR Tirmidzi)
Mengacu pada hadits ini, sesunguhnya iman itu bertingkat-tingkat. Dan tingkatan iman yang paling tinggi adalah mereka yang memiliki akhlaq yang baik. Jadi, secara teoritis, ajaran islam sangat menanamkan akhlaq terhadap pemeluknya. Dan menjadi tantangan, bagaimana teori itu bisa diwujudkan dalam praktek keseharian (culture).
Lanjut lebih lanjut lagi nabi ﷺ bersabda, خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik terhadap keluarganya” (HR Tirmidzi). Jadi, tolak ukur / parameter baiknya akhlaq seseorang cukup jelas, bukanlah mereka yang baik secara ‘basa-basi’, melainkan mereka yang baik terhadap keluarganya.
Dan dengan terangnya nabi mengatakan bahwa وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى “Akulah yang paling baik diantara kamu terhadap keluarga” (HR Tirmidzi).
Wujud nyata menggapai kebaikan akhlaq keluarga adalah memberikan keseimbangan dalam memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga. Di satu sisi harus memberikan kenyamanan dengan materi, namun di sisi lain memberikan pengajaran tentang Alloh dan agama-Nya. Jangan sampai ada anggota keluarga beragama lemah karena tidak pernah diajari.
Sejarah menceritakan akhlaq rosululloh ﷺ. Ia adalah pribadi mandiri di rumahnya. Beliau mengerjakan semua pekerjaan istrinya mulai dari mengepel, menyuci, strika, memasak, menjahit baju, dan lain-lain. Dalam fiqh madhab syafii, ada pendapat yang mengatakan semua pekerjaan rumah aslinya adalah tugas suami. Sementara tugas istri, adalah mendidik anak, dan ‘melayani’ suami.
++++++
Dikutip dari Pengajian Malam Ahad, 19 Feb 2011, Mesjid Darussalam Kota Wisata, Cibubur. Narasumber: DR. Daud Rasyid MA