Sebagai pemeluk islam, tentunya kita akan berusaha melaksanakan syariat Islam sesuai al-Quran dan Sunnah. Karena kita telah sepakat, bahwa sumber kebenaran mutlak adalah al-Quran dan Sunnah.
Sikap dan pandangan ini selaras dengan wasiat nabi. Beliau mengatakan bahwa ia meninggalkan dua buah pusaka. Jika kita berpegang kepadanya maka hidup akan selamat. Namun jika meninggalkannya, maka hidup akan tersesat. Kedua pusaka itu adalah al-Quran dan Sunnah.
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
“Aku telah tinggalkan kepada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR. Malik; Al-Hakim, Al-Baihaqi)
Pentingnya berpegang teguh kepada Al-Quran dan sunnah, ditegaskan pula oleh Alloh SWT dalam Al-Quran. Ia mengatakan bahwa diturunkannya risalah agama itu harus diikuti. Kita dilarang mengikuti jalan selainnya. Karena akan menyesatkan dan membuat perpecahan.
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَٰطِى مُسْتَقِيمًا فَٱتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِۦ ۚذَٰلِكُمْ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa” (QS: 6, 153)
Selain itu, Alloh SWT mengatakan bahwa, apapun persoalan atau perselisihan yang terjadi di dunia haruslah dikembalikan kepada al-Quran dan sunnah.
فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS an-Nisa 59)
Mengingat pentingnya al-Quran dan sunnah, seyogyanya respon umat islam terhadapnya hanya ada dua kata, yaitu kami DENGAR dan kami PATUH.
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ ٱلْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا۟سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
“Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar, dan kami patuh“. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS : 24, 51)
Dalam realitasnya, meskipun kita telah meyakini hidup harus berpegang pada al-Quran dan sunnah, pengamalannya tidaklah mudah. Kadang kita mendengar perintah agama, namun enggan mentaatinya. Tahu ilmu agama namun keliru memahaminya. Bahkan tidak sedikit segolongan umat mem-vonis golongan lainnya subhat tanpa landasan dalil yang kuat.
Setidaknya ada 3 hambatan yang membuat seseorang berIslam yang pengamalannya tidak selaras dengan al-Quran dan sunnah. Hambatan itu sebagai berikut:
1. Persoalan Hawa Nafsu
Sikap mengedepankan hawa nafsu, sama seperti yang dilakukan oleh umat Yahudi terdahulu. Mereka tidak mau mengikuti Kitab Taurat yang dibawa nabi Musa as, karena perkara hawa nafsu. Al-Quran menjelaskan dalam ayat berikut:
لَقَدْ أَخَذْنَا مِيثَٰقَ بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ وَأَرْسَلْنَآ إِلَيْهِمْ رُسُلًا ۖ كُلَّمَا جَآءَهُمْ رَسُولٌۢ بِمَا لَاتَهْوَىٰٓ أَنفُسُهُمْ فَرِيقًا كَذَّبُوا۟ وَفَرِيقًا يَقْتُلُونَ
“Sesungguhnya Kami telah mengambil perjanjian dari Bani Israil, dan telah Kami utus kepada mereka rasul-rasul. Tetapi setiap datang seorang rasul kepada mereka dengan membawa apa yang yang tidak diingini oleh hawa nafsu mereka, (maka) sebagian dari rasul-rasul itu mereka dustakan dan sebagianyang lain mereka bunuh” (QS: 5, 70)
Sangatlah berbahaya memahami agama dengan dasar hawa nafsu. Apalagi disampaikan kepada orang lain atau bahkan mengajaknya. Karena apapun yang dilakukan, akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۚ إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُمَسْـُٔولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (QS: 17, 36)
Alloh SWT, lebih lanjut menjelaskan, bahwa orang yang mengedepankan hawa nafsu dalam beragama, akan terkunci pendengaran, hati dan penglihatannya. Sehingga semakin tersesat dalam menerima kebaikan.
أَفَرَءَيْتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِۦ وَقَلْبِهِۦوَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِۦ غِشَٰوَةً فَمَن يَهْدِيهِ مِنۢ بَعْدِ ٱللَّهِ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatan? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (QS: 45, 23)
Hambatan kedua dalam berIslam dengan benar adalah perkara prasangka diri. Seseorang mengukur kebenaran dengan perasaan dan opini, bukan dalil dan hujjah. Indikasinya tercermin dari ungkapan ‘kayaknya’ sih benar.
Kita boleh saja mengukur kebenaran berdasarkan opini pribadi jika berhubungan dengan bidang politik, ekonomi, dan urusan dunia lainya. Namun dalam urusan agama haruslah tegas merujuk kepada ulama berdasar al-Quran dan sunnah. Beragama atas dasar prasangka, hasilnya akan sesat dan dusta.
وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِى ٱلْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنْهُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)” (QS: 6, 116)
Lebih lanjut, Alloh SWT menegaskan bahwa berIslam atas dasar prangka, tidak akan berfaedah kepada kebenaran.
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا ۚ إِنَّ ٱلظَّنَّ لَا يُغْنِى مِنَ ٱلْحَقِّ شَيْـًٔا ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌۢ بِمَايَفْعَلُونَ
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan” (QS Yunus 36)
وَمَا لَهُم بِهِۦ مِنْ عِلْمٍ ۖ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ ۖ وَإِنَّ ٱلظَّنَّ لَا يُغْنِى مِنَ ٱلْحَقِّ شَيْـًٔا
“Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran” (QS an-Najm 28)
Jika kita tidak yakin dan ragu kepada al-Quran, Alloh memberikan tantangan untuk membuat satu surat atau ayat saja. Dan tentu, kita tidak bisa melakukannya.
وَإِن كُنتُمْ فِى رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا فَأْتُوا۟ بِسُورَةٍ مِّن مِّثْلِهِۦ وَٱدْعُوا۟شُهَدَآءَكُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمْ صَٰدِقِينَ
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar” (QS al-Baqoroh 23)
فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا۟ وَلَن تَفْعَلُوا۟ فَٱتَّقُوا۟ ٱلنَّارَ ٱلَّتِى وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ ۖ أُعِدَّتْلِلْكَٰفِرِينَ
“Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) — dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir” (QS al-Baqoroh 24)
Faktor ketiga yang menghambat berIslam dengan benar adalah persoalan budaya. Seseorang mengukur kebenaran bersandar kepada budaya atau adat istiadat yang dilakukan nenek moyang terdahulu. Sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُوا۟ بَلْ نَتَّبِعُ مَآ أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَآ ۗ أَوَلَوْ كَانَءَابَآؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْـًٔا وَلَا يَهْتَدُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS: 2, 170)
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا۟ إِلَىٰ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَإِلَى ٱلرَّسُولِ قَالُوا۟ حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَاعَلَيْهِ ءَابَآءَنَآ ۚ أَوَلَوْ كَانَ ءَابَآؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْـًٔا وَلَا يَهْتَدُونَ
“Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”. Mereka menjawab: “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya“. Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak(pula) mendapat petunjuk”. (QS : 5, 104)
Islam tidaklah anti budaya. Islam sangat menerima budaya selama tidak bertentangan dengan syariat. Al-Quran diturunkan di Mekkah dan Madinah untuk meluruskan budaya yang salah pada saat itu. Tujuannya mengatur interaksi kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Ada beberapa hukum islam lahir dari budaya. Misalnya membayar dhiyat 100 unta bagi mereka yang membunuh dan dimaafkan oleh keluarganya. Juga ibadah puasa yang sudah dilakukan oleh budaya sebelum islam datang. Begitu juga dalam menutup aurat. Orang arab akan menggunakan gamis atau jubah sementara orang Indonesia menggunakan sarung dan kopiah hitam atau putih (agama islam Nusantara). Jadi, ajaran islam tidaklah anti budaya selama budaya itu tidak bertentangan dengan syariat.
++++++
Pengajian ba’da Shubuh Mesjid Nur Ramadhan, Pulo Asem Utara. Penceramah DR Wahid Rahman MA
(110224)
One thought on “Hambatan BerIslam Sesuai al-Quran dan Sunnah”